Suksesi
negara Negara adalah peralihan hak dan kewajiban dari suatu negara
kepada negara lain, sebagai akibat pergantian negara. Menurut Pasal 2
angka 1b Konvensi Wina Tahun 1978, suksesi negara adalah "succestion of
states means the replacement of one state by another in the
responsibility for the international relations of territory."
Selanjutnya
menurut Pasal 2 angka 1f, Pasal 15, Pasal 30 angka 1 dan Pasal 34
Konvensi Wina 1978, suksesi negara dapat terjadi karena berbagai sebab,
yaitu:[4]
- Apabila suatu wilayah negara atau suatu wilayah yang dalam hubungan internasional menjadi tanggung jawab negara tersebut kemudian berubah menjadi wilayah negara baru.
- Apabila negara pengganti sebagai negara baru yang beberapa waktu sebelum saat terjadinya suksesi merupakan wilayah yang tidak bebas yang dalam hubungan internasional di bawah tanggung jawab negera (negara-negara) yang digantikan.
- Negara yang terjadi sebagai akibat dari bergabungnya dua wilayah atau lebih menjadi suatu negara merdeka.
- Terjadi sebagai akibat dipecah-pecahnya suatu negara menjadi beberapa negara baru.
Sedangkan suksesi negara menurut J.G Starke adalah:[5]
“…
principally concerned with the transmission of right and obligations
from state which have altered or lost their identity to other states or
entities, such alteration or loss identity occurring primarily when
complete or partial changes of souveregnty take place over portions of
territory."
Terjemahan
bebasnya dapat ditulis sebagai berikut: “…peralihan hak dan kewajiban
dari suatu negara yang telah berubah atau hilang identitasnya kepada
negara atau entitas lain, di mana perubahan atau hilangnya identitas ini
terjadi karena adanya perubahan kedaulatan atas sebuah wilayah baik
yang bersifat menyeluruh atau sebagian.
Dari
kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hal yang terpenting di
dalam pengertian suksesi negara adalah adanya peralihan hak dan
kewajiban dari suatu negara yang telah berubah atau hilang identitasnya
kepada negara atau entitas lain.
Menurut
kepustakaan hukum Internasional, secara garis besar terdapat dua macam
bentuk suksesi negara yaitu suksesi universal dan suksesi parsial.
Suksesi universal terjadi apabila suksesi tersebut meliputi seluruh
wilayah negara. Misalnya, suatu negara pecah menjadi beberapa bagian
kemudian menjadi negara-negara baru. Sebaliknya suksesi parsial terjadi
apabila suksesi tersebut hanya meliputi sebagian wilayah suatu negara.
Misalnya, sebagian negara memisahkan diri dan menjadi sebuah negara yang
berdiri sendiri atau mengikuti negara lain.[6]
Perbedaan pokok antara suksesi universal dan suksesi parsial dapat diperinci sebagai berikut:[7]
- Identitas internasional negara; bahwa di dalam suksesi universal identitas internasional negara menjadi hilang atau berubah karena hilangnya wilayah negara tersebut kemudian muncul identitas negara yang baru. Sedangkan dalam suksesi parsial identitas internasional sebuah negara tidak hilang, karena yang terjadi hanyalah perubahan luas wilayahnya saja;
- Akibat hukum yang ditimbulkan; bahwa di dalam suksesi universal akibat hukum yang ditimbulkan adalah sejauh mana negara pengganti menerima hak dan kewajiban dari negara yang digantikan. Sedangkan di dalam suksesi parsial akibat hukumnya hanyalah sebatas pada distribusi hak dan kewajiban dari negara lama kepada negara baru;
Suksesi negara biasanya membawa beberapa implikasi yang sering terjadi dalam masyarakat internasional, yaitu:[8]
- Hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara pengganti.
- Keterikatan negara pengganti pada perjanjian internasional maupun kontrak yang dibuat oleh negara pendahulu dan eksistensi berlakunya perjanjian antara negara pendahulu dengan negara ketiga;
- Nasionalitas;
- Segala sesuatu yang berkaitan dengan hak milik, termasuk dana negara dan arsip negara;
- Tanggung jawab negara pengganti atas hutang negara pendahulu.
Sebagaimana
yang telah disebutkan di atas bahwa salah satu bentuk implikasi dari
terjadinya suksesi negara adalah mengenai sejauh mana keterikatan negara
pengganti pada perjanjian pada perjanjian internasional maupun kontrak
yang dibuat oleh negara pendahulu dan eksistensi berlakunya perjanjian
antara negara pendahulu dengan negara ketiga.
Menurut
Prof. Yudha Bhakti, terdapat dua pendapat yang dapat dikemukakan
mengenai keterikatan negara pengganti terhadap kontrak-kontrak atau
perjanjian-perjanjian internasional dalam terjadinya suksesi negara.[9]
Kewajiban-kewajiban
kontraktual dengan negara ketiga atau dengan warga negara sendiri,
seperti konsesi untuk tambang atau kereta api pada umumnya diterima
negara pengganti.
2.
Negara pengganti dapat mengahapuskan atau mengubah kewajibannya
terhadap kontrak tersebut dengan memperhitungkan hak ganti rugi bagi
pemilik konsesi.
Berbeda
dengan itu, Boer Mauna mengemukakan pendapatnya dengan mendasarkan pada
ketentuan-ketentuan yang mencerminkan prinsip-prinsip yang berlaku
dalam hukum kebiasaan dan ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam
konvensi.[10]
a.
menurut hukum kebiasaan internasional; bahwa di dalam praktek
internasional telah diterima sebuah prinsip tidak dapat dipindahkannya
perjanjian-perjanjian politik, seperti perjanjian-perjanjian aliansi
militer, konvensi-konvensi mengenai status netralitas atau mengenai
bantuan timbal balik dua negara. Dengan kata lain, perjanjian atau
kontrak politik yang telah dibuat oleh negara lama dengan negara lain
tidak beralih kepada negara baru karena terjadinya suksesi negara.
Sebaliknya, sejumlah perjanjian internasional yang dianggap mempunyai
nilai hukum kebiasaan, tetap berlaku terhadap negara baru. Sebagai
contoh perjanjian-perjanjian territorial yang berkaitan dengan penetapan
tapal batas atau jalur komunikasi.
Selain
itu, perjanjian-perjanjian yang dibuat untuk kepentingan umum masarakat
internasional, yang biasanya disebut law making treaty dapat
dipindahkan dari negara sebelumnya kepada negara pengganti atau negara
baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar