Extra Bar

Senin, 02 Desember 2013

Suksesi Negara

Suksesi negara Negara adalah peralihan hak dan kewajiban dari suatu negara kepada negara lain, sebagai akibat pergantian negara. Menurut Pasal 2 angka 1b Konvensi Wina Tahun 1978, suksesi negara adalah "succestion of states means the replacement of one state by another in the responsibility for the international relations of territory."

Selanjutnya menurut Pasal 2 angka 1f, Pasal 15, Pasal 30 angka 1 dan Pasal 34 Konvensi Wina 1978, suksesi negara dapat terjadi karena berbagai sebab, yaitu:[4]

  1. Apabila suatu wilayah negara atau suatu wilayah yang dalam hubungan internasional menjadi tanggung jawab negara tersebut kemudian berubah menjadi wilayah negara baru. 
  2. Apabila negara pengganti sebagai negara baru yang beberapa waktu sebelum saat terjadinya suksesi merupakan wilayah yang tidak bebas yang dalam hubungan interna­sional di bawah tanggung jawab negera (negara-negara) yang digantikan. 
  3. Negara yang terjadi sebagai akibat dari bergabungnya dua wilayah atau lebih menjadi suatu negara merdeka. 
  4. Terjadi sebagai akibat dipecah-pecahnya suatu negara menjadi beberapa negara baru.

Sedangkan suksesi negara menurut J.G Starke adalah:[5]

“… principally concerned with the transmission of right and obligations from state which have altered or lost their identity to other states or entities, such altera­tion or loss identity occurring primarily when complete or partial changes of souveregnty take place over portions of territory."

Terjemahan bebasnya dapat ditulis sebagai berikut: “…peralihan hak dan kewajiban dari suatu negara yang telah berubah atau hilang identitasnya kepada negara atau entitas lain, di mana perubahan atau hilangnya identitas ini terjadi karena adanya perubahan kedaulatan atas sebuah wilayah baik yang bersifat menyeluruh atau sebagian.

Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hal yang terpenting di dalam pengertian suksesi negara adalah adanya peralihan hak dan kewajiban dari suatu negara yang telah berubah atau hilang identitasnya kepada negara atau entitas lain.

Menurut kepustakaan hukum Internasional, secara garis besar terdapat dua macam bentuk suksesi negara yaitu suksesi universal dan suksesi parsial. Suksesi universal terjadi apabila suksesi tersebut meliputi seluruh wilayah negara. Misalnya, suatu negara pecah menjadi beberapa bagian kemudian menjadi negara-negara baru. Sebaliknya suksesi parsial terjadi apabila suksesi tersebut hanya meliputi sebagian wilayah suatu negara. Misalnya, sebagian negara memisahkan diri dan menjadi sebuah negara yang berdiri sendiri atau mengikuti negara lain.[6]

Perbedaan pokok antara suksesi universal dan suksesi parsial dapat diperinci sebagai berikut:[7]

  1. Identitas internasional negara; bahwa di dalam suksesi universal identitas internasional negara menjadi hilang atau berubah karena hilangnya wilayah negara tersebut kemudian muncul identitas negara yang baru. Sedangkan dalam suksesi parsial identitas internasional sebuah negara tidak hilang, karena yang terjadi hanyalah perubahan luas wilayahnya saja; 
  2. Akibat hukum yang ditimbulkan; bahwa di dalam suksesi universal akibat hukum yang ditimbulkan adalah sejauh mana negara pengganti menerima hak dan kewajiban dari negara yang digantikan. Sedangkan di dalam suksesi parsial akibat hukumnya hanyalah sebatas pada distribusi hak dan kewajiban dari negara lama kepada negara baru;

Suksesi negara biasanya membawa beberapa implikasi yang sering terjadi dalam masyarakat internasional, yaitu:[8]

  1. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara pengganti. 
  2. Keterikatan negara pengganti pada perjanjian interna­sional maupun kontrak yang dibuat oleh negara pendahulu dan eksistensi berlakunya perjanjian antara negara pendahulu dengan negara ketiga; 
  3. Nasionalitas; 
  4. Segala sesuatu yang berkaitan dengan hak milik, termasuk dana negara dan arsip negara; 
  5. Tanggung jawab negara pengganti atas hutang negara pendahulu.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa salah satu bentuk implikasi dari terjadinya suksesi negara adalah mengenai sejauh mana keterikatan negara pengganti pada perjanjian pada perjanjian internasional maupun kontrak yang dibuat oleh negara pendahulu dan eksistensi berlakunya perjanjian antara negara pendahulu dengan negara ketiga.

Menurut Prof. Yudha Bhakti, terdapat dua pendapat yang dapat dikemukakan mengenai keterikatan negara pengganti terhadap kontrak-kontrak atau perjanjian-perjanjian internasional dalam terjadinya suksesi negara.[9]

    Kewajiban-kewajiban kontraktual dengan negara ketiga atau dengan warga negara sendiri, seperti konsesi untuk tambang atau kereta api pada umumnya diterima negara pengganti.

2. Negara pengganti dapat mengahapuskan atau mengubah kewajibannya terhadap kontrak tersebut dengan memperhitungkan hak ganti rugi bagi pemilik konsesi.

Berbeda dengan itu, Boer Mauna mengemukakan pendapatnya dengan mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang mencerminkan prinsip-prinsip yang berlaku dalam hukum kebiasaan dan ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam konvensi.[10]

a. menurut hukum kebiasaan internasional; bahwa di dalam praktek internasional telah diterima sebuah prinsip tidak dapat dipindahkannya perjanjian-perjanjian politik, seperti perjanjian-perjanjian aliansi militer, konvensi-konvensi mengenai status netralitas atau mengenai bantuan timbal balik dua negara. Dengan kata lain, perjanjian atau kontrak politik yang telah dibuat oleh negara lama dengan negara lain tidak beralih kepada negara baru karena terjadinya suksesi negara. Sebaliknya, sejumlah perjanjian internasional yang dianggap mempunyai nilai hukum kebiasaan, tetap berlaku terhadap negara baru. Sebagai contoh perjanjian-perjanjian territorial yang berkaitan dengan penetapan tapal batas atau jalur komunikasi.

Selain itu, perjanjian-perjanjian yang dibuat untuk kepentingan umum masarakat internasional, yang biasanya disebut law making treaty dapat dipindahkan dari negara sebelumnya kepada negara pengganti atau negara baru.

b. menurut konvensi Wina 1978 tentang suksesi negara; bahwa pada prinsipnya konvensi Wina 1978 mengkodifikasikan sebagian besar dari prinsip-prinsip hukum kebiasaan (vide : Pasal 11 dan 12 Konvensi Wina 1978). Bahwa suksesi tidak merubah tapal batas dan status teritorial lainnya. Sebaliknya Konvensi Wina 1978 memberikan kebebasan kepada negara-negara yang baru merdeka untuk terikat atau tidak terikat terhadap kewajiban-kewajiban konvensional yang dibuat oleh negara sebelumnya, dengan lebih memberikan solusi kepada negara baru untuk tidak terikat pada konvensi-konvensi tersebut. Dengan demikian maka konvensi-konvensi multilateral secara prinsip tidak dapat dipindahkan kepada negara baru, kecuali negara baru tersebut menghendakinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar