Presiden Republik Indonesia adalah kepala negara
sekaligus kepala pemerintahan Indonesia.
Sebagai kepala negara, Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Sebagai kepala pemerintahan,
Presiden dibantu oleh wakil
presiden dan menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif
untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah sehari-hari. Presiden (dan Wakil Presiden) menjabat selama 5
tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu
kali masa jabatan.
TUGAS
PRESIDEN
- Memberi grasi dan rehabilitasi atas pertimbangan MA
- Menetapkan peraturan pemerintah
- Memberikan amnesti dan abolisi atas pertimbangan DPR
- Memegang kekuasaan pemerintah menurut UUD
- Memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan laut, darat, dan udara
- Mengangkat dan memberhentikan menteri
- Mengangkat duta dan konsul atas pertimbangan DPR
- Mengangkat dan memberhentikan KY dengan persetujuan DPR
- Memberi gelar, tanda jasa, dan tanda penghargaan lainya
- Menyatakan keadaan bahaya
FUNGSI
DAN KEDUDUKAN PRESIDEN
* Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris
MPR, meskipun kedudukannya tidak “neben”/sejajar, akan tetapi “untergeordnet”/pemerintah
tunduk kepada Rule of Law.
* Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi
(consentration of power and responsiblity upon the president).
* Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power),
juga memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif
(judicative power).
* Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar.
* Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat
menjabat sebagai presiden serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa
jabatannya.
HUBUNGAN
PRESIDEN DENGAN LEMBAGA NEGARA LAINNYA
Hubungan antara MPR - Presiden
MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi mengangkat presiden. Dalam menjalankan tugas pokok dalam bidang eksekutif (pasal 4(1)) presiden tidak hanya menyelenggarakan pemerintahan negara yang garis-garis besarnya telah ditentukan oleh MPR saja, akan tetapi termasuk juga membuat rencana penyelenggaraan pemerintahan negara. Demikian juga presiden dalam bidang legislatif dijalankan bersama-sama dengan DPR (pasal 5)
MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi mengangkat presiden. Dalam menjalankan tugas pokok dalam bidang eksekutif (pasal 4(1)) presiden tidak hanya menyelenggarakan pemerintahan negara yang garis-garis besarnya telah ditentukan oleh MPR saja, akan tetapi termasuk juga membuat rencana penyelenggaraan pemerintahan negara. Demikian juga presiden dalam bidang legislatif dijalankan bersama-sama dengan DPR (pasal 5)
Hubungan DPR - Presiden
Sesudah DPR bersama Presiden menetapkan UU dan RAP/RAB maka didalam pelaksanaan DPR berfungsi sebagai pengawas terhadap pemerintah. Pengawasan DPR terhadap Presiden adalah suatu konsekwensi yang wajar, yang mengandung arti bahwa presiden bertanggung jawab kepada DPR. Bentuk kerjasama antara presiden dengan DPR diartikan bahwa Presiden tidak boleh mengingkari partner legislatifnya.
Sesudah DPR bersama Presiden menetapkan UU dan RAP/RAB maka didalam pelaksanaan DPR berfungsi sebagai pengawas terhadap pemerintah. Pengawasan DPR terhadap Presiden adalah suatu konsekwensi yang wajar, yang mengandung arti bahwa presiden bertanggung jawab kepada DPR. Bentuk kerjasama antara presiden dengan DPR diartikan bahwa Presiden tidak boleh mengingkari partner legislatifnya.
Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan
membentuk undang-undang. Selanjutnya untuk menguatkan posisi DPR sebagai
pemegang kekuasaan legislatif, maka pada Pasal 20 ayat (5) ditegaskan bahwa
dalam hal RUU yang disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden, dalam waktu
30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, secara otomatis sah menjadi UU dan
wajib diundangkan.
Hubungan antara Presiden -
Menteri-menteri
Mereka adalah pembantu presiden. Menteri mempunyai pengaruh yang besar terhadap Presiden dalam menentukan politik negara yang menyangkut departemennya. Dalam praktek pemerintahan, Presiden melimpahkan sebagian wewenang kepada menteri-menteri yang berbentuk presidium.
Mereka adalah pembantu presiden. Menteri mempunyai pengaruh yang besar terhadap Presiden dalam menentukan politik negara yang menyangkut departemennya. Dalam praktek pemerintahan, Presiden melimpahkan sebagian wewenang kepada menteri-menteri yang berbentuk presidium.
Hubungan antara Presiden
dan MK
Selanjutnya, Pasal 24C
ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi
adalah untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan UUD. Karena kedudukan MPR sebagai lembaga negara, maka apabila MPR
bersengketa dengan lembaga negara lainnya yang sama-sama memiliki kewenangan
yang ditentukan oleh UUD, maka konflik tersebut harus diselesaikan oleh
Mahkamah Konstitusi.
Kewenangan Mahkamah
Konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD NRI tahun
1945 adalah untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji UU
terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum. Di samping itu, MK juga wajib memberikan putusan
atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut UUD.
CARA PENGISIAN JABATAN
PRESIDEN
1.
Era Orde Baru
Ketentuan
pengisian Presiden dan Wakil Presiden terdapat dalam pasal 6 ayat (2) UUD 1945
yang menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak. Rumusan pasal ini bersifat
defenitif karena dalam penjelasan pasal ini disebutkan telah jelas. Dengan
demikian, ada dua unsur penting pasal 6 ayat (2) yaitu: Pertama,
Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR. Kata dipilih tentu mengisyaratkan
bahwa calon harus lebih dari satu orang karena ‘tradisi calon tunggal’ tidak
mendekati makna hakiki pasal ini. Kedua, penentuan Presiden dan Wakil
Presiden dengan suara terbanyak (voting) dimana MPR akan mengadakan
pemungutan suara dan calon yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai
Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk
melaksanakan pasal 6 ayat (2) UUD 1945, MPR telah mengeluarkan Ketetapan MPR
No.II/MPR/1973 tentang “Tatacara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Indonesia “. Salah satu pertimbangan penting lahirnya ketetapan ini adalah
bahwa dalam sejarah ketatanegaran Indonesia belum pernah ada peraturan yang
mengatur tentang cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Berdasarkan Tap
MPR No. II/MPR/1973, tatacara pemilihan Presiden dapat dilihat dalam pasal 8
sampai pasal 20 dapat dirinci sebagai berikut, pertama, calon Presiden
diusulkan oleh semua fraksi secara tertulis kepada MPR melalui pimpinan fraksi
yang sudah harus diterima oleh pimpinan MPR selambat-lambatnya 24 jam sebelum
Rapat Paripurna Pemilihan Presiden (pasal 9 dan 10). Kedua, pimpinan MPR
mengumumkan nama calon Presiden yang telah memenuhi persyaratan. Pencalonan dapat
ditarik kembali oleh yang bersangkutan kepada pimpinan MPR melalui fraksi
pengusul (pasal 11 dan 12).
Ketiga, pelaksanaan pemilihan apabila calon
lebih dari satu orang (dua, tiga atau lebih). Pemilihan dilaksanakan secara
rahasia. Putusan diambil sekurang-kurangnya lebih dari separuh anggota yang
hadir. Jika diantara calon tidak ada yang mendapat suara lebih dari separuh,
maka terhadap dua calon yang mendapat suara lebih banyak dilakukan pemilihan
ulang dan calon yang mendapat suara terbanyak ditetapkan sebagai Presiden.
Apabila kedua calon mendapat suara yang sama, maka pemungutan suara dari fraksi
masing-masing secara tertulis. Jika suara masih tetap sama, maka fraksi
mengusulkan calon lain (pasal 14-19). Seandainya calon hanya satu orang, maka
calon tersebut disahkan saja oleh MPR (pasal 13 ayat (2)).
Mencermati
tatacara pemilihan Presiden di atas dapat dicermati bahwa Tap MPR No. II/ MPR/
1973 seolah-olah hendak mengeliminasi semangat pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dan
semakin menjauhi niali-nilai demokratis karena adanya ketentuan bahwa calon
Presiden dari fraksi. Pasal 8 manyatakan:
“Calon Presiden diusulkan oleh fraksi secara
tertulis dan disampaikan kepada pimpinan Majelis melalui pimpinan-pimpinan
fraksi yang mencalonkan dengan persetujuan dari calon yang bersangkutan”.
Ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 8 ini telah menjadi living law dalam
perjalanan sejarah ketatanegaaraan Indonesia. Menurut Harun Al-Rasyid bahwa
yang menjadi “kaidah yang hidup” sejak Sidang Umum (SU) MPR 1973 adalah
”tradisi calon tunggal” dalam pemilihan Presiden.Hal inilah yang menyebabkan
Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 “mati suri”.
Kekuasaan
terselubung yang dimiliki oleh Presiden terpilih dinyatakan dalam Tap MPR No.
II/MPR/1993, yaitu:
Pasal 2
(1) Presiden dan
Wakil Presiden harus dapat bekerja sama
(2) Calon Wakil
Presiden selain memenuhi persyaratan yang ditentukan pasal 1 ketetapan ini,
harus juga menyatakan sanggup dan dapat bekerja sama dengan Presiden.
Pasal 23
(3) Untuk
memenuhi ketetapan pada pasal 2 ayat (1) ketetapan ini, bilamana perlu,
dinyatakan secara tertulis oleh Presiden.
Ketentuan-ketentuan
tersebutlah yang memperbesar kekuasaan atributif Presiden dalam menentukan
calon Wakil Presiden. Kehadiran pasal-pasal itu telah memperkecil kedaulatan
yang dipunyai oleh anggota MPR dalam menentukan calon Wakil Presiden. Padahal,
persyaratan dapat bekerja sama cenderung subjektif karena dilakukan setelah
Presiden terpilih.
2. Era Reformasi
Dalam Era
Reformasi terjadi beberapa perubahan yang terkait dengan pengisian jabatan
Presiden dan Wakil Presiden. Pertama, pembatasan terhadap masa jabatan
Presiden dan Wakil Presiden melalui Tap MPR No. XIII/ MPR/ 1998. Ketetapan ini
mengakhiri perdebatan penafsiran ganda terhadap Pasal 7 UUD 1945 bahwa Presiden
dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya
dapat dipilih kembali. Ketentuan ini ditafsirkan oleh rezim Soekarno dan
Soeharto bahwa seorang dapat dipilih menjadi presiden berulang-ulang. Bahkan,
Soekarno melalui Tap MPRS No. III/ MPRS/ 1963 ditetapkan sebagai Presiden
seumur Hidup.
Kedua, adanya perbaikan terhadap Tap MPR
No. II/ MPR/ 1973 karena dianggap tidak sesuai dengan dinamika dan perkembangan
demokrasi.Perubahan ini dilakukan dengan pengesahan Tap MPR No. VI/ MPR/ 1999
tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI.
Ada
dua perbaikan yang dilakukan oleh MPR dalam tata cara pengisian jabatan
Presiden dan Wakil Presiden. Pertama, adanya peluang untuk mencalonkan
seseorang menjadi presiden tanpa melalui fraksi. Dalam Pasal 8 ayat (2)
dinyatakan bahwa calon presiden (dan Wakil Presiden) juga dapat diajukan oleh
sekurang-kurangnya tujuh puluh orang anggota MPR yang terdiri atas satu fraksi
atau lebih. Kedua, hilangnya ketentuan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dapat
bekerja sama.
Di
luar perbedaan tersebut, masih ditemui persamaan yang amat mendasar antara
ketentuan yang terdapat dalam Tap. MPR No. II/ MPR/ 1973 dengan Tap MPR No. VI/
MPR/ 1999 terutama yang menyangkut pemisahan proses pemilihan Presiden dengan
Wakil Presiden. Pada prinsipnya adanya persayaratan bahwa pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden dilakukan secara terpisah adalah tidak sejalan dengan
keinginan UUD 1945 karena pemilihan Presiden diisyaratkan satu paket dengan
pemilihan Wakil Presiden karena pembuat UUD beberapa kali menyebut Presiden dan
Wakil Presiden “dalam satu nafas”, seperti: Presiden dan Wakil Presiden
dipilih oleh…, Presiden dan Wakil Presiden memangku jabatannya selama…,
Presiden dan Wakil Presiden disumpah menurut agama….Alasan lain yang
mendukung satu paket, yaitu Presiden dan Wakil Presiden adalah satu lembaga,
yaitu lembaga kepresidenan karena UUD 1945 tidak pernah menyebut Wakil Presiden
sebagai lembaga tersendiri. Hal ini dapat dibuktikan bahwa persyaratan untuk
menjadi Wakil Presiden sama dengan persyaratan untuk menjadi Presiden. Kalau
MPR melakukan penilaian terhadap calon Presiden berarti MPR sekaligus melakukan
penilaian bagaimana calon Presiden memilih pendampingnya.
Lebih
jauh dari itu, menjadikan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden satu paket akan
membawa implikasi positif terhadap posisi Wakil Presiden. Wakil Presiden akan
merasa jabatan yang diperolehnya bukan hanya ditentukan oleh rekomendasi
Presiden terpilih, tapi kedua calon sama-sama berjuang untuk mendapatkan posisi
terhormat tersebut. Andil mereka secara proporsional relatif berimbang. Dengan
demikian, Wakil Presiden akan menjadi mitra Presiden dan sekaligus menghapus
kesan selama ini dirasakan sebagai “ban serap”. Dengan demikian, tentunya
posisi Wakil Presiden menjadi lebih tinggi daripada menteri-menteri yang nota-bene
juga pembantu Presiden.
3. Pasca-Amandemen Ketiga UUD 1945
Wacana untuk
melakukan pemilihan Presiden (dan Wakil Presiden) langsung kembali mengemuka
dalam beberapa hari terakhir. Ini dapat dicermati dari perdebatan-perdebatan
yang muncul dalam dua tahun terakhir karena sedang dilakukan kajian untuk
mempersiapkan materi Amandemen UUD 1945.
Gagasan
untuk melakukan pemilihan Presiden langsung adalah kelanjutan perdebatan yang
pernah muncul pada paruh pertama tahun 2000. Pada masa itu, pengalaman “pahit”
yang terjadi pada proses pengisian jabatan Presiden selama Orde Baru dan proses
pemilihan Presiden tahun 1999 mendorong untuk dilakukan pemilihan Presiden
langsung karena beberapa alasan (raison d’etre) yang sangat mendasar.
Pertama,
Presiden yang terpilih melalui pemilihan langsung akan mendapat mandat dan
dukungan yang lebih riil rakyat sebagai wujud kontrak sosial antara pemilih
dengan tokoh yang dipilih. Kemauan orang-orang yang memilih (volonte
generale) akan menjadi pegangan bagi Presiden dalam melaksanakan
kekuasaannya.
Kedua,
pemilihan Presiden langsung secara otomatis akan menghindari intrik-intrik
politik dalam proses pemilihan dengan sistem perwakilan. Intrik politik akan
dengan mudah terjadi dalam sistem multipartai. Apalagi kalau pemilihan umum
tidak menghasilkan partai pemenang mayoritas, maka tawar-tawar politik menjadi
sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan.
Sekadar
contoh, kegagalan Megawati menjadi Presiden pada SU MPR tahun 1999 memberikan
“kesadaran baru” kepada kita bahwa sistem perwakilan dalam pengisian Presiden
memberikan peluang yang sangat besar kepada kekuatan-kekuatan politik di MPR
untuk mengkhianati keinginan sebagian besar rakyat Indonesia. Kemenangan PDI
Perjuangan dalam pemilihan umum tahun 1999 dapat berarti bahwa sebagian besar volonte
generale sudah “mendaulat” Megawati untuk memimpin Indonesia. Tetapi karena
adanya pertimbangan-pertimbangan politik sesaat hasil pemilihan Presiden pada
tahun 1999 menjadi sebuah ironi politik dalam proses pertumbuhan demokrasi di
Indonesia.
Ketiga,
pemilihan Presiden langsung akan memberikan kesempatan yang luas kepada rakyat
untuk menentukan pilihan secara langsung tanpa mewakilkan kepada orang lain.
Kecenderungan dalam sistem perwakilan adalah terjadinya penyimpangan antara
aspirasi rakyat dengan wakilnya. Ini semakin diperparah oleh dominannya
pengaruh partai politik yang telah mengubah fungsi wakil rakyat menjadi wakil
partai politik (political party representation).
Keempat,
pemilihan langsung dapat menciptakan perimbangan antara berbagai kekuatan dalam
penyelenggaraan negara terutama dalam menciptakan mekanisme checks and
balances antara Presiden dengan lembaga perwakilan karena sama-sama dipilih
oleh rakyat. Selama ini, yang terjadi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,
MPR menjadi sumber kekuasaan dalam negara karena adanya ketentuan bahwa lembaga
ini adalah pemegang kedaulatan rakyat. Kekuasaan inilah yang dibagi-bagikan
secara vertikal kepada lembaga-lembaga tinggi negara lain termasuk kepada
Presiden. Akibatnya, kelangsungan kedudukan Presiden sangat tergantung kepada
MPR.
Meskipun
sudah ada kesepakatan untuk melakukan pemilihan Presiden langsung, tetapi masih
ada perdebatan yang belum selesai sampai saat ini karena pemilihan Presiden langsung
harus dengan memperhatikan kondisi riil rakyat Indonesia seperti (1) faktor
perimbangan penduduk yang tidak merata untuk seluruh wilayah Indonesia, dan (2)
dominannya pemilih “tradisional” dan pemilih “irrasional” dalam komunitas
politik Indonesia yang kalau tidak disiasati dengan bijak akan kontraproduktif
dengan keinginan untuk memperbaiki proses pemilihan Presiden.
Pertimbangan
ini amat diperlukan dan dapat dimengerti karena adanya berbagai model pemilihan
Presiden langsung yang dilaksanakan di berbagai negara.
Pertama,
sistem pemilihan langsung Amerika Serikat (AS) atau Electoral College System.
Pada sistem ini rakyat tidak juga langsung memilih calon Presiden tetapi
melalui pengalokasian jumlah suara dewan pemilih (electoral college votes)
pada setiap propinsi (state). Jika seorang kandidat memenangkan sebuah
state maka ia akan mendapat semua jumlah electoral college (the
winner takes all) pada daerah bersangkutan.
Sistem
ini bukan tanpa cela, karena tidak tetutup kemungkinan calon yang memperoleh
suara pemilih terbanyak (electoral college votes) gagal menjadi Presiden
karena gagal untuk memperoleh jumlah mayoritas suara pada electoral college.
Kejadian ini dapat diamati dalam pemilihan Presiden AS terakhir November 2000.
Al Gore mendapatkan total suara lebih banyak sekitar 360-an ribu suara,
sementara George W. Bush unggul dalam perolehan electoral college (272 :
267) sehingga yang menjadi Presiden AS adalah George W. Bush.
Kedua,
kandidat yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan langsung menjadi
Presiden atau first-past the post. Seorang kandidat dapat menjadi
Presiden meskipun hanya meraih kurang dari separuh suara pemilih. Sistem ini
membuka peluang untuk munculnya banyak calon Prersiden sehingga peluang untuk
memenangkan pemilihan kurang dari 50% lebih terbuka. Jika ini terjadi maka
presiden terpilih akan mendapatkan legitimasi yang rendah karena tidak mampu
memperoleh dukungan suara mayoritas (50% + 1).
Ketiga,
Two-round atau Run-off system: Pada sistem ini, bila tak
seorangpun kandidat yang memperoleh sedikitnya 50% dari keseluruhan suara, maka
dua kandidat dengan perolehan suara terbanyak harus melalui pemilihan tahap
kedua beberapa waktu setelah tahap pertama. Jumlah suara minimum yang harus
diperoleh para kandidat pada pemilihan pertama bervariasi di beberapa negara.
Sistem ini paling populer dilaksanakan di negara-negara dengan sistem
presidensil. Namun sistem ini sangat memerlukan kesiapan logistik dan biaya
besar. Sistem seperti ini biasanya membuka peluang bagi jumlah kandidat yang
besar pada pemilihan tahap pertama dan upaya “dagang sapi” untuk memenangkan
dukungan bagi pemiliham tahap kedua. Jumlah kandidat yang terlalu besar dapat
dikurangi dengan menerapkan persyaratan yang sulit bagi nominasi kandidat.
Keempat,
Sistem Nigeria. Di Nigeria, seorang kandidat Presiden dinyatakan sebagai
pemenang apabila kandidat tersebut dapat meraih sedikitnya 30% suara di
sedikitnya 2/3 (dua pertiga) dari 36 negara bagian di Nigeria (termasuk ibu
kota Nigeria). Sistem ini diterapkan untuk menjamin bahwa Presiden terpilih
memperoleh dukungan dari mayoritas penduduk yang tersebar di 36 negara bagian
tersebut. Presiden Obasanjo memenangkan pemilu tahun 1999 dengan sistem ini dan
memperoleh 63% suara dari keseluruhan pemilih.
Perbedaan
pendapat dalam menentukan model yang tepat untuk dilaksanakan di Indonesia
tidak hanya terjadi dalam perdebatan akademik tetapi juga terjadi di MPR. Hal
ini dapat dibuktikan dengan terjadinya perdebatan panjang pada menjelang dan
saat Sidang Tahunan (ST) MPR bulan November 2001. Pada awalnya, kecenderungan
di MPR mengarah kepada pola “pemilihan langsung plus” yang tetap memberikan
peranan signifikan kepada MPR dengan dua alternatif, yaitu (1) calon Presiden
(dan Wakil Presiden) dipilih dulu di MPR baru kemudian diserahkan kepada rakyat
untuk memilih di antara calon-calon yang telah dipilih dalam proses politik di
MPR, dan (2) calon Presiden (dan Wakil Presiden) dipilih terlebih dulu oleh
rakyat kemudian dipilih lagi oleh MPR
Pola
yang hendak dipilih MPR itu mendapat kritikan luas karena MPR tidak serius
untuk melakukan perubahan dalam pemilihan Presiden. Kritikan keras ini sangat
beralasan dan dapat dimengerti, karena ada kecenderungan, sebagai lembaga
tertinggi negara, MPR dinilai tidak ingin kehilangan otoritas politiknya dalam
proses pengisian jabatan Presiden di Indonesia. Kecenderungan ini dipahami
bahwa tanpa menjadi kekuatan penentu dalam pemilihan Presiden, MPR akan
kehilangan eksistensinya secara signifikan.
Akhirnya,
kritikan yang datang dari berbagai kalangan, mampu mempengaruhi sikap MPR dalam
melakukan perubahan UUD 1945. Dalam Pasal 6A ayat (1), (2) dan ayat (3)
Amandemen Ketiga dinyatakan :
1. Presiden (dan Wakil Presiden) dipilih dalam
satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
2. Pasangan calon Presiden (dan Wakil
Presiden) diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
3. Pasangan calon Presiden (dan Wakil
Presiden) yang mendapatkan suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah
suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di
setiap propinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah propinsi di
Indonesia, dilantik menjadi Presiden (dan Wakil Presiden).
Meskipun
sudah ada kesepakatan untuk melakukan pemilihan Presiden langsung yang akan
dimulai pada tahun 2004, ini tidak berarti bahwa persoalan pemilihan Presiden
langsung sudah tuntas. Paling tidak masih ada satu persoalan krusial yang belum
disepakati, yaitu bagaimana jika tidak ada pasangan calon Presiden (dan Wakil
Presiden) yang dapat memenuhi persyaratan dalam ayat (3).
Ada
dua alternatif yang masih diperdebatkan di MPR sebagai solusi terhadap
persoalan ini. Pertama, dua pasangan calon yang memperoleh suara
terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh MPR dan pasangan
yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden (dan Wakil Presiden).
Kedua, dua pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua
dalam pemilihan umum dipilih lagi oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang
memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden (dan Wakil Presiden).
Kedua alternatif ini telah diusahakan untuk diselesaikan dalam ST MPR 2001
tetapi karena masing-masing mempunyai pendukung dengan kekuatan yang relatif
berimbang, maka kata putus disepakati akan dilakukan pada ST MPR 2002 yang akan
datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar