Mengenai Pancasila sebagai sumber Hukum!
Pasal 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan ‘Pancasila merupakan sumber
dari segala sumber hukum negara. Ironisnya, ketentuan yang maha penting
ini – yaitu mengenai ’sumber dari segala sumber hukum negara’ – tidak diatur
dalam Undang-Undang Dasar yang secara formil merupakan dasar negara.
Dengan demikian, patut dipertanyakan: apa dasarnya dari Pasal 2 UU 10/2004
itu? Kita dapat melihat bahwa sila-sila dari pancasila telah tercantum
dalam pembukaan dan pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 (UUD 1945) jika dilihat secara keseluruhan; namun, tidak ada ketentuan
secara eksplisit bahwa Pancasila harus menjadi ’sumber dari segala sumber hukum
negara’. Berikut ini saya akan berikan contoh-contoh bab, pasal dan ayat
UUD 1945 yang mengandung sila-sila dari Pancasila, namun ini memang sebagai
contoh saja dan tidak menggambarkan secara lengkap bagaimana Pancasila sudah
dijamin dalam UUD 1945.
Pancasila sudah tercantum dalam paragraf terakhir
pembukaan UUD yang berbunyi ’…Negara Republik Indonesia… berdasar kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia
dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,
serta… mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’.
Selain itu, Pancasila telah tercantum secara konkrit dalam berbagai pasal UUD
1945. Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa sudah tercantum dalam Pasal 29
Ayat (1) yang berbunyi ‘[n]egara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa’.
Kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab tercantum dalam Bab XA tentang hak
asasi manusia. Ketiga, persatuan Indonesia telah ditentukan dalam Pasal 1
Ayat (1) yang berbunyi ’Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan…’, dan juga
dalam pasal-pasal yang mengatur tentang struktur pemerintahan Indonesia yang
bersifat unitary (kesatuan) dan disentralisasi. Sifat ini dapat dilihat,
antara lain, dalam Pasal 18 Ayat (5) dan Bab VII tentang DPR yang secara
implicit memberikan wewenang seluas-luasnya kepada pemerintah pusat untuk
menentukan mana yang merupakan urusan dan kewenangan pemerintah pusat dan mana
diserahkan kepada daerah. Apalagi, kesatuan Indonesia dijamin dalam Pasal
37 Ayat (5) yang melarang dilakukannya perubahan mengenai kesatuan
Indonesia. Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan telah dijamin dalam Pasal 1 Ayat (2), dan Bab
VII tentang DPR yang menyerahkan kewenangan pembuatan Undang-Undang kepada DPR
yang merupakan badan perwakilan. Namun, sila ini mungkin dapat dikatakan
tidak sekuat dulu sejak MPR tidak lagi ditetapkan sebagai lembaga tertinggi
negara. Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dijamin
dalam Bab XA tentang hak asasi manusia, serta Bab XIV tentang perekonomian
nasional dan kesejahteraan sosial. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
UUD 1945 tidak bertentangan dengan Pancasila, bahkan Pancasila sudah tercantum
secara implisit dalam UUD 1945. Akan tetapi, oleh karena UUD 1945
merupakan sumber utama dan pertama dari segala hukum Indonesia yang tidak dapat
disimpangi dalam keadaan apapun, apa gunanya Pasal 2 UU 10/2004 itu?
Apabila UUD 1945 telah mengandung Pancasila, dan segala peraturan
perundang-undangan di Indonesia di bawah UUD 1945 harus sesuai dengan UUD 1945
tersebut, apakah Pasal 2 UU 10/2004 itu diperlukan untuk menjamin
Pancasila?
Menurut saya, Pasal 2 UU 10/2004 itu tidak diperlukan
untuk menjamin Pancasila, bahkan Pasal tersebut membahayakan demokrasi di
Indonesia. Pertama, walaupun mengenai Pasal 2 UU 10/2004 itu dapat
dilakukan perubahan, isi Pancasila tidak bisa diubah atau ditinjau kembali
sehingga secara formil Pancasila itu tidak demokratis. Meskipun Pancasila
merupakan aspirasi rakyat Indonesia pada saat ini, dan biarpun sifat
Pancasila itu sangat mendasar, belum tentu pada masa yang akan datang
aspirasi rakyat tidak akan berubah atau berkembang. Apabila isi Pancasila
tidak dapat ditinjau, dikritik, ditentukan serta disahkan melalui proses
yang demokratis, berarti Pancasila itu tidak dapat dikatakan mengandung
aspirasi yang telah disetujui rakyat dan oleh sebab itu, maka tidak patut
dijadikan ’sumber dari segala sumber hukum negara’. Apabila
Pancasila disamakan dengan pembukaan UUD, maka sebaiknya UU 10/2004 Pasal 2 itu
diubah agar berbunyi seperti pembukaan UUD 1945 yang merupakan sumber dari
segala sumber hukum negara.
Kedua, dalam keadaan tertentu kedudukan Pancasila
sebagai ’sumber dari segala sumber hukum negara’ bisa membenarkan penyimpangan
dari UUD 1945. Sebagai contoh, dalam kasus pengujian UU 27/2004 Tentang
KKR di MK diargumentasi para pemohon bahwa UU tersebut berkemungkinan
membangkitkan kembali wacana mengenai PKI, dan oleh karena filsafat PKI itu
bertentangan dengan Pancasila yang merupakan ’sumber dari segala sumber hukum
negara’, maka UU 27/2004 itu harus dibatalkan. Argumen tersebut tidak
relevant karena berdasarkan UUD 1945 Pasal 24C Ayat(1) MK berwenang menguji UU
terhadap UUD, bukan terhadap Pancasila. Apalagi, pengabulan atas argumen
tersebut dengan tidak mempertimbangkan bahwa UU KKR itu bertujuan untuk
memberikan jaminan atas berbagai hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945
itu berkemungkinan menyimpangi UUD. Sebagai contoh lain, misalnya ada
suatu peraturan pelaksana UU tentang kebebasan berpendapat atau perizinan PKI,
hal ini bisa diuji di MA karena dianggap bertentangan dengan UU 10/2004 Pasal
2, dengan argumentasi bahwa peraturan tersebut tidak bersumber dari Pancasila
karena memperbolehkan wacana filsafat komunisme yang menentang Pancasila,
sementara kebebasan berpendapat atau perizinan PKI itu telah dijamin oleh UUD
1945 Pasal 28E Ayat (2) dan (3), Pasal 28F, Pasal 28I Ayat (2) dan (5), dan
’hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani’ telah ditentukan sebagai hak yang
’tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun’ oleh Pasal 28I Ayat (1).
Ketiga, penempatan Pancasila di posisi suci yang tidak
tersentuh ini dapat membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi serta
mengangkangi pembahasan demokratis. Dalam negara demokratis,
seharusnya pembahasan, penilaian dan pengkritikan masalah apa pun tidak
dilarang, sepanjang dilakukan secara adil dan akademis. Suatu rancangan
peraturan perundang-undangan harus dilihat dan dinilai manfaat dan
kekurangannya berdasarkan civic reasoning, bukan berdasarkan
kesesuaiannya dengan suatu filsafat semata. Yang saya khawatirkan adalah
bahwa masyarakat nantinya tidak akan lagi menilai, membahas atau mengkritik
sesuatu yang berbau Pancasila karena takut akan dituduh sebagai warga negara
yang tidak baik. Apalagi dalam hal kehakiman, yang seharusnya memutus
perkara apa pun secara imparsial: seorang hakim bisa takut memutuskan sesuai
dengan permohonan sepihak karena pernah dikatakan oleh tokoh-tokoh tertentu
bahwa pemohon itu menentang Pancasila, dan nantinya si hakim itu sendiri bisa
dituduh tidak mengacu kepada Pancasila.
Keempat, kedudukan Pancasila sebagai ’sumber dari
segala sumber hukum negara’ bisa digunakan untuk membenarkan diskrimoinasi,
misalnya terhadap mantan anggota PKI. Diskriminasi atas dasar Pancasila
mungkin dianggap positive discrimination karena berdasarkan atas sesuatu
yang positif yaitu Pancasila, padahal diskriminasi atas dasar agama atau
diskriminasi karena seseorang atau suatu organisasi tidak memeluk suatu agama
yang diakui Indonesia merupakan pengingkaran UUD 1945 Pasal 28I Ayat (2), Pasal
29 Ayat (2), pengingkaran International Covenant on Civil and Political
Rights Pasal 20 (2) dan Pasal 26, serta pengingkaran Pancasila itu sendiri,
yakni pengingkaran sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Yang menarik
juga adalah bahwa seringkali idiologi komunisme dikritik oleh para perjuang
Pancasila karena mengenal suatu prinsip yaitu the ends justify the means
(tujuan membenarkan cara), sedangkan tidak jarang para nasionalis sendiri
menyebutkan perlindungan Pancasila sebagai tujuan yang membenarkan cara
mereka. Misalnya, kasus pembantaian masal yang dilakukan terhadap anggota
PKI dan orang-orang yang diduga anggota PKI pada tahun 1965 sering dibenarkan
karena merupakan upaya untuk membela Pancasila.
Maksud saya bukan untuk menilai bagus atau tidaknya
isi Pancasila itu, tetapi hanya untuk mempertanyakan kepatutan Pasal 2 UU
10/2004 itu, serta membahas dan menilai kedudukan dan fungsi dari Pancasila
tersebut. Menurut saya, sebaiknya Indonesia memilih apakah Pancasila
masih diinginkan menjadi idiologi negara yang tetap, jika iya, maka sebaiknya Pancasila
dibiarkan sebagai idiologi saja, dan tidak dijadikan hukum positif ataupun judiciable.
Tentu saja ini berarti Pasal 2 UU 10/2004 itu harus dicabut.
Namun, walaupun bukan hukum positif, Pancasila masih bisa berperan penting
dalam negara Indonesia sebagai suatu alat mengukur sejauh mana suatu peraturan
perundang-undangan melaksanakan atau bertentangan dengan Pancasila. Kalau
Indonesia ingin mempunyai Pancasila sebagai idiologi Negara yang judiciable,
maka seharusnya isi Pancasila itu dituangkan ke dalam suatu peraturan
perundang-undangan dengan kedudukan tertentu dalam hierarki peraturan
perundang-undangan Indonesia, serta dinilai, dikritik dan didebatkan agar terus
berkembang sesuai dengan zaman dan nilai-nilai masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar