URGENSI HUKUM ADAT DALAM
GLOBALISASI
Pelembagaan Hukum Adat di Indonesia
Hukum adat menurut Van Vollenhoven adalah Keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu disebut “hukum”) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena itu disebut “adat”) . Sedangkan ketentuan hasil seminar Hukum adat di Yogyakarta Tahun 1975 tentang definisi hukum adat adalah sebagai berikut: "Hukum adat adalah Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam perundang-undangan RI dan disana-sini mengandung unsur agama. Kedudukan Hukum Adat menjadi salah satu sumber penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju pada unifikasi hukum (penyamaan hukum)" .
Pelembagaan Hukum Adat di Indonesia
Hukum adat menurut Van Vollenhoven adalah Keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu disebut “hukum”) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena itu disebut “adat”) . Sedangkan ketentuan hasil seminar Hukum adat di Yogyakarta Tahun 1975 tentang definisi hukum adat adalah sebagai berikut: "Hukum adat adalah Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam perundang-undangan RI dan disana-sini mengandung unsur agama. Kedudukan Hukum Adat menjadi salah satu sumber penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju pada unifikasi hukum (penyamaan hukum)" .
Tiap-tiap hukum merupakan sebuah sistem yaitu “peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan kesatuan alam pikiran”. Sistem Hukum Adat bersendi atas dasar–dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum barat. Kedudukan hukum adat dalam sistem hukum nasional, adalah sebagai salah satu bagian dari hukum positif yang secara konstitusional “diakui” oleh Negara. Istilah diakui (pengakuan) mengandung makna atau pengertian yang berbeda dengan istilah ditetapkan (penetapan).
Berlakunya hukum adat di Indonesia, bukanlah karena ditetapkan oleh Negara, sebab penetapan diperlukan apabila hukum adat merupakan suatu system hukum yang baru yang belum ada sebelumnya. Tetapi kiranya harus diketahui bahwa keberadaan hukum adat di Nusantara ini telah ada sebelum Republik ini berdiri. Dalam UUD’45 (Ps. 18 B ayat 2) dinyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat dalam hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan RI yang diatur dalam undang – undang”. Ketentuan Ps. 18 B(2) UUD’45 tersebut diatas, dapat dipahami mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
• Negara mengakui dan menghormati hukum adat, ini artinya Negara bukan hanya sekedar mengakui kebenaran dari hukum adat tersebut, tetapi lebih dari itu harus pula berperan aktif dalam proses pembangunan hukum adat, misalnya pemberdayaan kembali lembaga-lembaga hukum adat yang telah lama memudar sebagai akibat dari dominasi sistem perundang - undangan dan sistem ketatanegaraan kita di masa lalu. Negara mengakui eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, ini berarti Negara berkewajiban untuk mendorong dan jika perlu berperan aktif untuk memberdayakan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat sebagai bagian penting dari komponen bangsa dan menghormati serta memelihara segala ciri has yang ada sebagai bagian dari asset bangsa.
• Pembangunan hukum dan pemberdayaan lembaga-lembaga adat harus memberikan dampak positip sehingga mampu berpungsi dan berperan aktip sebagai pilter yang dapat menangkal segala dampak negatip dari arus globalisasi.
• Kesatuan-kesatuan masyarakat dalam hukum adat memelihara dan menggunakan hak-hak tradisionalnya dengan tetap menyadari keberadaannya dalam bingkai Negara Kesatuan RI.
Di dalam Undang-Undang No. 25 Th. 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) ditentukan bahwa garis kebijaksanaan pembangunan dibidang “Kebudayaan, Kesenian dan Parawisata” antara lain sbb:
1. Mengembangkan dan membina kebudayaan nasional bangsa Indonesia yang bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa, budaya nasional yang mengandung nilai-nilai universal termasuk kepercayaan terhadap Tuhan YME dalam rangka mendukung terpeliharanya kerukunan hidup bermasyarakat dan membangun peradaban bangsa.
2. Merumuskan nilai-nilai kebudayaan Indonesia sehingga mampu memberikan rujukan sistem nilai terhadap totalitas prilaku kehidupan ekonomi, politik, hukum dan kegiatan kebudayaan dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional dan peningkatan kwalitas berbudaya masyarakat.
Kiranya dimaklumi bahwa Pembangunan nasional hanya mungkin dilakukan dengan benar dan baik bila bertumpu kuat pada hakikat dari pembangunan hukum nasional. Dalam konteks pembangunan hukum nasional, menjadi penting mengkaji aktualitas, relevansinya, mempelajari maupun meneliti perkembangan hukum adat yang hidup dalam masyarakat yang terdapat di Indonesia pada umumnya. Hukum Adat adalah bagian penting dari strategi kebudayaan, maka dengan memahami hukum adat akan membantu mengembangkan lebih jauh nilai-nilai budaya yang tersimpan dalam hukum adat mereka. Oleh karena itu diperlukan pengamatan yang cermat dan seksama atas nilai-nilai, perkembangan nilai-nilai, norma-norma yang tumbuh, dan berkembang.
Sehingga pemahaman mengenai eksistensi hukum adat dalam hal ini secara substantif, bukan terletak pada apakah hukum adat tersebut telah ditetapkan oleh Negara atau tidak. Lebih dari itu adalah, nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat, sekalipun tidak tertulis. Moh. Koesnoe dengan mensitir pendapat Djojodiguno mengatakan bahwa untuk dinyatakannya hukum adat sebagai hukum yang berlaku (hukum positif) tidaklah mesti harus dilihat dari adanya penerapan sanksi, akan tetapi hukum adat telah cukup dinyatakan berlaku apabila ada pernyataan-pernyataan (menurut penulis termasuk ‘ungkapan–ungkapan simbolik bermakna’) yang diungkapkan sebagai pernyataan rasa keadilan dalam perhubungan pamrih, yang dinyatakan berlaku sebagai uger-ugeran .
Jadi hal ini memang berbeda dengan pendapat para ahli hukum adat yang lain (Vollenhoven, Ter Haar, Kusumadi Pujosewojo) yang menunjuk kepada sanksi yang harus dijatuhkan/diputus oleh Hakim atau penguasa adat sebagai ciri untuk menyatakan adat sebagai hukum (hukum adat). Lebih tegas lagi Koesnoe mengatakan bahwa pilihan untuk menetapkan hukum dengan penggunaan sanksi sebagai ciri pokoknya akan membawa kekecewaan didalam menentukan apa yang hukum didalam adat . Sejalan dengan pendapat Koesnoe, Haryono mengatakan bahwa dikenal beberapa ciri dari Hukum Adat dan salah satu ciri penting adalah asas-asas hukum adat dirumuskan dalam bentuk seloka, pribahasa (perumpamaan) ataupun cerita . Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberadaan hukum adat dalam arti berlakunya dalam kehidupan masyarakat aturan-aturan yang bersifat ‘non-statutair’, adalah apabila dalam kehidupan sehari-hari benar-benar dirasakan sebagai norma-norma kehidupan (uger-ugeran) yang menjiwai dalam hubungan antar sesama sebagai pernyataan rasa keadilan terutama dalam hubungan pamrih, keberadaan sanksi lebih terkait dengan penegakannya. Sanksi dalam hal ini tidak seharusnya dalam bentuk konkrit (tegas) tetapi bisa juga dalam bentuk sanksi moral.
Penguatan Hukum Adat, HAM, dan Pluralisme
Masyarakat adat telah menjadi salah satu pihak yang paling banyak dirugikan oleh kebijakan-kebijakan pembangunan selama tiga dekade ini. Walaupun masyarakat adat merupakan elemen terbesar dalam struktur negara-bangsa (nation-state) Indonesia, dalam pembuatan kebijakan nasional eksistensi komunitas-komunitas adat ini belum terakomodasi, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari agenda politik nasional. Perlakuan tidak adil ini bisa dilihat secara gamblang dari pengkategorian dan pendefinisian sepihak terhadap masyarakat adat sebagai "masyarakat terasing", "peladang berpindah", "masyarakat rentan", "perambah hutan", "masyarakat primitif", dan sebagainya. Pengkategorian dan pendefinisian semacam itu membawa implikasi pada percepatan penghancuran sistem dan pola masyarakat adat.
Dalam konvensi ILO No.169 tahun 1986 menyatakan bahwa: "Bangsa, suku, dan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk memelihara, me-ngembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu suku, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka. 88 Selama ini para perencana dan pelaksana pembangunan di Indonesia menganggap nilai-nilai budaya adat sebagai keterbelakangan. Bertolak dari anggapan tersebut, berkembanglah sebuah pemahaman mengenai pentingnya dilakukan perubahan sosial-budaya. Perubahan yang dimaksud adalah pencabutan nilai-nilai tradisional yang kemudian digantikan dengan nilai-nilai lain, dalam hal ini "nilai-nilai modern (barat)", agar pembangunan dapat mencapai tujuan utamanya: kesejahteraan masyarakat.
Pencabutan nilai-nilai tradisional itu dilakukan melalui berbagai produk peraturan, perundang-undangan, dan kebijakan lainnya. Produk-produk hukum itu bersifat sentralistik dan seragam. Misalnya Undang-Undang No.5 Tahun 1979, mengubah sistem wilayah kekuasaan dan kekayaan adat menjadi bentuk pemerintahan desa. Aturan tersebut menjadi awal disfungsinya pemerintahan adat. Disfungsi itu kemudian menyebabkan "memisahkan tokoh" di kalangan masyarakat adat. Kepala desa menjadi penguasa tunggal yang memperhatikan kepentingan pemerintah di atasnya. Ia bertindak berdasarkan otoritas legal formal. Di pihak lain ada kepala adat yang merupakan penguasa wilayah persekutuan masyarakat adat yang memerintah berdasarkan otoritas informal yang diberikan masyarakat.
Buntut dari dualisme kepemimpinan ini adalah dengan tersingkirnya kepala adat dari sistem pemerintahan desa. Kepala adat dipercaya untuk mengatur pelaksanaan upacara adat. Upacara adat yang dipercayakan pelaksanaannya kepada ketua adat itu bukan merupakan bukti penghormatan dari masyarakat adat, melainkan untuk kepentingan komoditi pariwisata semata. Oleh karena proses marjinalisasi adat itu berkaitan dengan faktor-faktor struktural. Dengan menghapus marjinalisasi menjadi demokratisasi dan menggantikan sentralisasi menjadi desentralisasi.
Pentingnya Hukum Adat
Kita semua tahu bahwa hukum yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini masih banyak hukum warisan Belanda atau masih dipengaruhi oleh hukum Belanda. Dalam penerapannya oleh para penegak hukum ternyata tidak sebagaimana di negeri asalnya, yang lebih mengutamakan penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak individu (ini tidak sama artinya dengan mementingkan diri sendiri) serta lebih berpikir rasional.
Sebaliknya penerapan hukum di Indonesia, diterapkan oleh para penegak hukum dengan pola pikir orang Indonesia, dengan kata lain menggunakan pola pikir adat, demikian pula rakyat Indonesia sebagai penerima, sebagian besar masih dengan mengutamakan kebersamaan atau bersifat komunal dan religio-magis.
Kondisi di atas mempunyai kontribusi terhadap kesemrawutan hukum, diskriminatif, dan tidak adil. Padahal seharusnya hukum yang baik itu menurut ahli hukum perlu memenuhi tiga syarat yaitu : filosofis, yuridis dan sosiologis, bahkan mungkin perlu ditambah harus mengakar dan bersumber pada budaya bangsa sendiri.
Keanekaragaman hukum yang berlaku di Indonesia merupakan kebutuhan hukum dari suatu masyarakat yang majemuk. Fakta menunjukkan bahwa cukup banyak peraturan yang dalam pelaksanaannya kurang atau tidak diterima oleh masyarakat. Jadi hukum nasional yang harus dapat diterima oleh semua pihak, maka itu perlu dirumuskan dalam rumusan yang bersifat umum. Hal-hal yang bersifat operasional harus diserahkan pengurusannya atau penyelesaiannya berdasarkan hukum adat yang berlaku bagi masing-masing suku yang terdapat di Indonesia. Kepada setiap suku harus diberi kewenangan untuk menjabarkan lebih lanjut apa yang diatur dalam ketentuan umum yang bersifat nasional tersebut.
Keterkaitan Hukum Adat dengan Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia
Hak seharusnya kata yang tidak asing bagi umat manusia, di benua manapun. Karena "hak" merupakan intisari yang paling karib dengan kebenaran dan keadilan dalam konteks dinamika dan interaksi kehidupan manusia beserta makhluk dan ciptaan Tuhan lainnya. "Hak" telah terpatri sejak manusia lahir. "Hak" memang untuk siapa saja. Di antaranya hak yang bernama kemerdekaan, yang bernama hak makhluk dan harkat martabat kemanusiaan, hak yang bernama cinta kasih sesama, hak yang bernama indahnya kesejahteraan, baik yang bernama keterbukaan, dan kelapangan, hak yang bernama bebas dari rasa takut, hak nyawa, hak rohani, hak kesadaran, hak untuk tenteram, hak untuk memberi, hak untuk menerima, hak untuk menolak, hak untuk me-minta, hak untuk berbicara, hak untuk diam, hak untuk berani, hak untuk menghindar, hak untuk berkumpul, hak untuk dilindungi, hak untuk melindungi dan sebagainya.
Pada perkembangannya, "hak" mengalami perubahan, distorsi makna dan fungsi, hal ini disebabkan berbagai kepentingan kekuasaan manusia yang menyangkut interaksi antarmanusia sendiri, dan manusia dengan makhluk dan ciptaan Tuhan lainnya di sepanjang sejarah peradaban manusia yang teraktualisasi dalam sistem sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Dalam sejarah modern, HAM berkembang pesat menjadi pembicaraan internasional sejak PD II di pertengahan abad ke-20. Sejak itu HAM menjadi bahan pembicaraan yang luar biasa, baik dalam konsep maupun dalam jumlah perangkat (hukum) yang mengaturnya. Dari istilah Fundamental Human Right (yang secara harfiah berarti Hak Asasi Manusia), sekarang kita lebih mengenal istilah human rights. Apa yang dulu dikenal sebagai the right of man di abad ke-18, dalam perkembangnnya telah bergeser men-jadi human rights. Di akhir abad ke-20 ini hampir seluruh dunia, masalah hak asasi manusia diangkat sebagi hal penting dalam negara demokrasi. Hak asasi manusia dianggap sebagai konsep etika modern dengan gagasan intinya adalah: adanya tuntutan moral yang menyangkut moral itu secara potensial amat kuat untuk melindungi orang dan kelompok yang lemah dari praktek kesewenangan mereka yang kuat, baik karena kedudukan, usia, status, jenis kelamin dan lainnya. Jadi HAM bukan hanya suatu konsep, karena pada dasarnya HAM mengarah pada penghormatan terhadap kemanusiaan.
Definisi hak asasi manusia yang dimuat dalam piagam HAM yang meupakan bagian yang tak terpisahkan dari TAP MPR No. XVII/MPR/1989 tentang HAM adalah : "Hak Asasi manusia adalah hak-hak dasar yang universal yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan hak kesejahteraan, yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun".
HAM dapat digolongkan terdiri atas:
1. Hak individu yang merupakan hak-hak yang dimiliki masing-masing orang.
2. Hak kolektif, yakni masyarakat yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain, seperti hak penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi kebebasan yang dilanggar.
3. Hak sipil dan politik (dimuat dalam international covenant on civil and political rights dan terdiri dari 27 pasal), antara lain memuat hak-hak yang telah ada dalam perundang-undangan Indonesia seperti: a). Hak atas penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi yang kebebasannya dilanggar. b). Hak atas hidup, hak atas kebebasan dan keaman-an pribadi, hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. c). Hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak sipil dan hak politik, hak seseorang untuk diberitahu alasan-alasan pada saat penangkapan, persamaan hak dan tanggung jawab antara suami-istri, hak atas kebe-basaam berekspresi.
4. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (dimuat dalam international covenant on economic, sosial, and cultural rights dan terdiri dari 13 pasal) antara lain memuat hak untuk menikmati kebebas-an dari rasa ketakutan dan kemiskinan, larangan atas diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati ekonomi, sosial, dan budaya; hak untuk mendapatkan peker-jaan; hak untuk memperoleh upah yang adil bagi buruh laki-laki dan perem-puan; hak untuk membentuk serikat tani/buruh, hak untuk mogok, hak atas pendidikan, hak untuk bebas dari kelaparan.
HAM bersifat universal, yang berarti bahwa seseorang berhak atas hak-hak tersebut karena ia adalah manusia. Jadi setiap orang harus diperlakukan sesuai dengan hak-hak itu, dan merupakan sarana etis dan hukum untuk melin-dungi individu, kelompok dan golongan lemah terhadap kekuatan-kekuatan dan kekuasaan-kekuasaan yang menin-das hak itu dalam masyarakat modern. Deklarasi Wina (1993) menyebutkan adalah kewajiban negara untuk mene-gakkan HAM dan menganjurkan peme-rintah-pemerintah untuk menegakkan standar-standar yang terdapat dalam instrumen-instrumen HAM internasional ke dalam hukum nasional. Proses mengadopsi dan menetapkan pemberlakuan instrumen HAM inilah yang disebut sebagai ratifikasi.
Dalam konteks negara modern, HAM telah menjadi alat anggota masyarakat untuk menghadapi kekuasaan dominan dan cenderung menindas (seperti aparatus atau alat-alat negara baik birokrasi sipil maupun militer). Soal HAM memang berkaitan erat dengan soal demokrasi. Justru, di negara-negara demokrasi inilah HAM itu mendapat perlindungan yang paling kuat. Dengan adanya parlemen yang efektif, kehakiman independen, partai-partai politik yang mapan, lembaga pers yang bebas dan sebagainya, maka sama sekali tidak mudah bagi pemerintah untuk melanggar hak-hak asasi rakyatnya.
Dalam era reformasi kita temukan beberapa ketentuan MPR yang secara eksplisit memberikan pengakuan terhadap hukum adat antara lain:
1. TAP MPR No. XVII/MPR/1989 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 41 Piagam Hak Asasi Manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ketetapan ini menyatakan identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindingi selaras dengan perkembangan jaman. Dengan adanya penegasan ini, maka hak-hak dari masyarakat adat yang ada (masyarakat tradisional) ditetapkan sebagai salah satu hak asasi manusia yang wajib dihormati. Pemaknaan terhadap ketentuan ini lebih jauh perlu dikaitkan dengan pasal 18 B (2) dan pasal 28 1 (3) UUD 1945 setelah di amandemen.
• Pasal 18 B (2) UUD 45: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip negara kesatuan RI.
• Pasal 28 1 (3) UUD 45: Identitas budaya dan hak-hak masyarakat tradisional di hormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
2. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia Pasal 6 secara tegas menyatakan: a). Dalam rangka Penegakan Hak Asasi Manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. b). Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dan dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Penjelasan Pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa Hak Adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan perundangan-undangan. Sedangkan dalam penjelasan pasal 6 ayat 2 menyatakan bahwa dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum negara yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar