Extra Bar

Selasa, 19 November 2013

Lotus Case

LOTUS CASE
  • CERITA DAN PERISTIWA HUKUMNYA
· 2 Agustus 1926, terjadi tabrakan antara SS Lotus, sebuah kapal uap Prancis dan SS-Boz Kourt, sebuah kapal Turki, di suatu daerah di utara Mytilene. Sebagai akibat dari kecelakaan itu, terdapatlah delapan warga Turki atas kapal-Boz Kourt tenggelam ketika kapal itu ditabrak oleh Kapal Lotus.

· Kapten kapal Lotus yang bernama M. Demons ditangkap oleh pemerintah Turki sekaligus dimintai keterangan. M. Demons ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban dan menyebabkan kerugian terhadap kapal tambang Turki.

· Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang dilakukan Turki, karena dianggap tindakan itu tidak sejalan dengan Hukum Internasionl, dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu, dan berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas (floating island theory). sehingga permasalahan ini diajukan ke Mahkamah Internasional Permanen.

· Pada tanggal 7 September 1927, yakni ketika belum adanya Perserikatan Bangsa-Bangsa, kasus tersebut diajukan Mahkamah Internasional Permanen (Permanent-ICJ), yang mana merupakan bagian yudisial dari Liga Bangsa-Bangsa (pendahulu Perserikatan Bangsa-Bangsa).

  • MASALAH HUKUM
· Bagaimana PCIJ menyelesaikan perkara tersebut menggunakan kebiasaan internasional?

· Apakah ada ketentuan kebiasaan internasional yang mengatur mengenai kasus tersebut?

· Apakah ada ketentuan-ketentuan Hukum Internasional yang melarang turki melaksanakan Jurisdiksinya? (yakni mengadili orang asing ‘M.Demons’ di negaranya).

  • PENYELESAIAN SENGKETA
Prinsip atau pendekatan Lotus, biasanya dianggap sebagai dasar hukum internasional, mengatakan bahwa negara-negara berdaulat dapat bertindak dengan cara apapun yang mereka inginkan asalkan tidak bertentangan dengan larangan eksplisit. Prinsip ini – hasil dari kasus Lotus – kemudian ditolak oleh pasal 11 dari Tinggi Konvensi Laut 1958. Konvensi, yang diadakan di Jenewa, meletakkan penekanan pada fakta bahwa hanya negara atau bendera negara yang tersangka pelaku adalah yang memiliki yurisdiksi nasional atas pelaut tentang insiden yang terjadi di laut lepas.

  •  PUTUSAN PENGADILAN
Keputusan dalam perkara ini adalah, diantaranya:
  1. Memutuskan bahwa tidak ada kaidah kebiasaan yang memberikan yurisdiksi pidana eksklusif dalam kasus tabrakan di laut lepas dari pihak Negara bendera kapal, berkenaan dengan semua insiden di atas kapal, karena dari materi yang relevan yang dipertimbangkan, perundang-undangan nasional tidak konsisten, tidak ada kecenderungan yang seragam yang dapat disimpulkan dari traktat-traktat, serta adanya perbedaan pandangan di antara para sarjana.Untuk itu jurisdiksi dapat dilaksanakan juga oleh Negara bendera kapal atas kapal dimana tindak pidana yang mengakibatkan timbulnya tabrakan.
  2. Memutuskan bahwa tidak ada pembatasan atas pelaksanaan yurisdiksi oleh setiap Negara kecuali jika pembatasan itu dapat diperlihatkan dengan bukti konklusif yang keberadaannya sebagai suatu prinsip hokum internasional. PCIJ tidak menerima tesis yang dikemukakan oleh Perancis bahwa suatu klaim yurisdiksi oleh suatu Negara harus dibenarkan oleh hukum internasional dan praktek hokum internasional. Kewajiban tersebut terletak di pihak Negara yang menyatakan bahwa pelaksanaan yurisdiksi itu sah, untuk mempelihatkan bahwa praktek jurisdiksi itu dilarang oleh hukum internasional.
  3. Terkait dengan tanggung jawab pidana atau disiplin nahkoda atau setiap orang lainnya dalam kapal, maka tidak boleh ada penuntutan pidana atau disiplin terhadap orang-orang tersebut kecuali di hadapan peradilan atau pejabat-pejabat administrasi dari Negara bendera atau Negara dari mana orang tersebut menjadi warga Negara.
  • ANALISIS
Hukum Internasional sebagian besar terdiri dari kaidah-kaidah kebiasaan. Kaidah-kaidah ini pada umumnya telah menjalani suatu proses sejarah yang panjang yang berpuncak pada pengakuan oleh masyarakat internasional.[1]
Kebiasaan sebagaimana dimaksudkan oleh huku, adalah suatu adat istiadat yang telah memperoleh kekuatan hukum. Hukum Kebiasaan internasional adalah kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum. Agar kebiasaan internasional dapat dikatakan sebagai hukum harus memenuhi kedua unsur berikut yaitu harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum dan kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum. Kedua unsur itu dapat dinamakan unsur material dan unsur psikologis.[2]
 
Unsur pertama yaitu unsur material memerlukan adanya suatu kebiasaan yang merupakan suatu pola tindak yang berlangsung lama. Selain itu kebiasaan yang berlangsung lama itu harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional. Unsur kedua yaitu unsur psikologis menghendaki bahwa kebiasaan Internasional dirasakan memenuhi suruhan kaidah atau kewajiban hukum atau seperti dikatakan dalam bahsa latin Opinio Juris Sive Necessitative .

Tampak dari keputusan Permanenent Court of International Justice dalam Lotus case bahwa Opinio Juris merupakan suatu hal yang merupakan kesimpulan dari semua keadaan, bukan semata-mata tindakan terinci yang merupakan unsur materi dari apa yang dinyatakan kaidah kebiasaan.

PCIJ memutuskan bahwa tidak ada kaidah kebiasaan yang memberikan yurisdiksi pidana eksklusif dalam kasus tabrakan kapal di laut lepas dari pihak negara bendera kapal berkenaan dengan semua insiden diatas kapal karena dari materi yang relevan yang dipertimbangkan perundang-undangan nasional tidak konsisten keputusan –keputusan pengadilan nasional yang saling bertentangan tidak ada kecenderungan yang seragam yang dapat disimpulkan dari trakta-traktat serta adanya perbedaan pandangan diantara para sarjana.

Dalam Lotus case tidak terdapat peraturan hukum internasional berkaitan dengan yurisdiksi pidana eksklusif dari negara bendera kapal yang terlibat dalam tabrakan itu dalam kaitannya dengan tindak pidana yang berlangsung diatas kapal tersebut dan bahwa yurisdiksi dapat dilaksanakan juga oleh negara bendera kapal atas kapal dimana tindak pidana yang mengakibatkan timbulnya tabrakan.

Walaupun negara tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di luar negeri.

Karena kapal Turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi kerusakan di wilayah Turki. Maka hal ini memungkinkan turki memberlakukan jurisdiksinya berdasarkan prinsip territorial objektif, yaitu Jurisdiksi dimana tindakan tersebut diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal turki, maka sama saja terjadi di wilayah Turki), dengan jurisdiksi territorial objektif ini, maka turki berhak menjalankan jurisdiksinya.

Selain itu tindakan penangkapan kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal Turki. Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.


[1] Starke, J.G., Pengantar Hukum Internasional edisi ke 10. Jakarta: Sinar Grafika. 2008. Hlm. 45
[2] Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT. Alumni. 2003. hlm. 143-145.


*Tugas Hukum Internasional kelas E Fakultas Hukum Undip*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar