- Tradisi Masyarakat
Nilai-nilai hukum Islam tidak lepas dari prinsip penerapan yang dianutnya, serta tujuan hukum Islam itu sendiri. Dari prinsip-prinsip yang dianut dapat dilihat bahwa hukum Islam dalam prosesnya sangat memperhatikan adat (‘urf) setempat.
Adat atau ‘urf merupakan kebiasaan dalam masyarakat dan menjadi salah satu kebutuhan sosial yang sulit untuk ditinggalkan dan berat untuk dilepaskan. Oleh karena itu, dalam pembinaan hukum Islam terlihat dengan jelas bahwa syari’at Islam sangat memperhatikan adat (‘urf) masyarakat setempat, misalnya mengenai larangan minuman keras (khamr).1
Peluang adat (‘urf) untuk bisa dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum secara implisit diisyaratkan oleh beberapa ayat hukum dalam al-Qur’an, antara lain, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’rif” (al-Baqarah: 233); “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaknya diberi oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf” (al-Baqarah: 241). Dalam ayat tersebut tidak dijelaskan mengenai macam, jenis atau bentuk, dan batasan banyak sedikitnya nafkah yang harus diberikan oleh orangtua kepada anaknya dan oleh suami kepada istrinya yang dicerai. Hal ini karena Islam memahami bahwa tingkat kehidupan, kemampuan, dan adat (‘urf) masyarakat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Syari’at Islam memberikan kesempatan untuk menetapkan ketentuan hukumnya sesuai adat (‘urf) setempat. Oleh karena itu, ketentuan hukum mengenai kewajiban memberi nafkah bagi suami atau orangtua yang ada dalam berbagai kitab fiqh (dari berbagai macam madzhab) berbeda-beda karena antara lain disebabkan perbedaan tradisi di mana ulama tersebut berada.
Berkaitan dengan itu, dalam qa’idah fiqhiyah disebutkan:
“Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar (pertimbangan) hukum” 2
Qaidah yang lain:
“Menetapkan (suatu hukum) dengan dasar (‘urf), seperti menetapkan (hukum) dengan dasar nash” 3 .
Dengan kaidah tersebut, hukum Islam dapat dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan tradisi (adat) yang sudah berjalan. Sifat al-Qur’an dan al-Sunnah yang hanya memberikan prinsip-prinsip dasar dan karakter keuniversalan hukum Islam (sebagaimana contoh ayat di atas) dapat dijabarkan kaidah ini dengan melihat kondisi lokal dengan masing-masing daerah. Lebih jauh, dengan kaidah tersebut, dalam bidang perdagangan (perekonomian), qa’idah fiqhiyah memberikan keluasaan untuk menciptakan berbagai macam bentuk transaksi atau kerja sama, yaitu dengan kaidah:
“Sesuatu yang sudah terkenal (menjadi tradisi) di kalangan pedagang, seperti syarat yang berlaku diantara mereka” 4
Kaidah-kaidah tersebut memberikan peluang pada kita untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan ketentuan hukumnya. Bahkan meneliti dan memperhatikan adat (‘urf) untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan suatu ketentuan hukum merupakan suatu keharusan.5
Akan tetapi, tidak semua adat (‘urf) manusia dapat dijadikan dasar hukum. Yang dapat dijadikan dasar hukum adalah adat (‘urf) yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dan tujuan-tujuan hukum Islam itu sendiri. Itulah sebabnya para ulama mengklasifikasikan adat (‘urf) ini menjadi dua macam, yaitu (1) al-‘urf al-shahih, yaitu kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam yang ada dalam, nash (al-Qur’an dan al-Sunnah), (2) al-‘urf al-fasid, yaitu kebiasaan yang telah berlaku di tengah-tengah masyarakat, tetapi kebiasaan tersebut bertentangan dengan nash atau ajaran-ajaran syari’ah secara umum.6
Adat (‘urf) yang dapat dijadikan hukum adalah al’urf al-shahih. Oleh karena itu, selama kebiasaan masyarakat tidak bertentangan dengan syari’at Islam, maka dapat dijadikan dasar pertimbangan penetapan hukum. Dengan demikian, sifat akomodatif hukum Islam terhadap tradisi masyarakat dapat terealisir tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya.
- Kondisi Masyarakat
Memperhatikan keadaan suatu masyarakat merupakan hal yang mendasar dalam syari’at Islam. Oleh karena itu, syari’at Islam dalam menetapkan hukum-hukumnya selalu disertai penjelasan tentang ‘illat (‘illah), yaitu alasan yang melatarbelakangi suatu ketetapan hukum, sekalipun tidak semua ketentuan hukum dijelaskan ‘illat-nya. Hal ini dimaksudkan agar dalam setiap ketetapan hukum berpijak dari alasan-alasan yang logis.
Berkaitan dengan masalah ‘illat ini, Syekh Abdul Fatah mengatakan bahwa semua tindakan kontroversial khalifah Umar bin Khatab, misalnya tidak memberikan zakat kepada mu’alaf dan tidak menerapkan hukum tangan bagi pencuri (yang sepintas melanggar ketentuan nash) karena Umar memandang bahwa hukum agama itu mengandung alasan-alasan tertantu (‘illah, rasio logis) yang harus diperhatikan. Suatu ketentuan hukum dapat dipahami secara utuh dan sempurna adalah terkait dengan kemampuan menggali dan menganalisis ‘illat.7
Berkaitan dengan masalah ‘illat sebagai motivasi hukum ini, Islam memberikan prinsip sebagai berikut:
“Ketetapan suatu hukum itu didasarkan atas ada atau tidak adanya ‘illat” 8.
“Pada dasarnya suatu ketetapan hukum dapat dihapus (berubah) dengan hilangnya ‘illat” 9.
“Apabila suatu hukum ditetapkan berdasarkan ‘illat, maka hukum tersebut dapat diganti (diubah) dengan hilangnya ‘illat tersebut” 10.
Kaidah-kaidah tersebut memberikan prinsip dasar bahwa dalam menerapkan atau menetapkan kebijakan hukum tidak boleh hanya berpegang kepada makna lahiriah atau bunyi lafadz dari suatu teks nash. Akan tetapi, harus dengan sungguh-sungguh menggunakan pemikiran dan penalaran intelektual, yaitu dengan menggali dan mencermati ‘illat yang terkandung dalam suatu ketentuan hukum sehingga benar-benar rasional dan relevan. Oleh karena itu, suatu ketentuan hukum yang berbeda dan perubahan-perubahan hukum yang terjadi dari waktu ke waktu, tidak selalu dianggap sebagai tindakan yang menyimpang dari syari’at. Akan tetapi, sebaliknya hal itu harus dipandang sebagai dinamika dan nilai kontekstualitas hukum Islam itu sendiri.
Penetapan hukum yang didasarkan atas analisis ‘illat sebagaimana dilakukan oleh khalifah Umar bin Khatab, yang terformulasikan dalam 3 (tiga) kaidah di atas merupakan tahapan yang penting dalam pengembangan analisis sosiologi hukum. Perbedaan di seputar aspek normatif hukum Islam dan aspek sosiologis manusia (masyarakat) akan selalu dijumpai dalam realitas keseharian. Di saat terjadi tarik menarik antara pendekatan normatif dan sosiologis, khalifah Umar menjatuhkan pilihannya pada faktor sosiologis dengan pertimbangan rasionalistik kemaslahatan untuk memaknakan (hukum) Islam dalam realita kehidupan tanpa meninggalkan semangat yang dipesankan dalam teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karenanya, sangatlah penting untuk dipahami bahwa suatu sistem kepercayaan (agama) dalam suatu komunitas sosial jangan sampai ajaran-ajarannya, termasuk dalam bidang hukum, terjadi kehampaan nilai. Pergumulan dan perbenturan dengan nilai-nilai sosial selalu terjadi dan dapat mempengaruhi intensitas pengamalan keagamaan. Dalam keadaan yang demikian, tentunya Islam harus arif terhadap kondisi suatu masyarakat agar kehadirannya dapat bermakna dan diterima.
Mempertimbangkan faktor sosiologis sangat penting bila melihat hukum Islam dengan segala dinamikanya, antara lain bukanlah semata-mata sebagai lembaga hukum yang menekankan aspek spiritual, tetapi juga merupakan sistem sosial yang utuh bagi masyarakat yang didatanginya. Oleh karena itu, hukum Islam harus tetap eksis dalam masyarakat sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan ekonomi dalam waktu dan ruang tertentu. Dari sudut pandang inilah nilai prinsip ‘illat (penalaran ta’lili) sangat penting untuk dijadikan dasar dalam menetapkan hukum Islam sesuai dengan kondisi masyarakat tertentu.
Ketidakterlepasan perhatian hukum Islam terhadap kondisi sosial masyarakat, sebenarnya telah tampak sejak awal proses pembentukan hukum Islam itu sendiri. Adanya asbab al-nuzul dari suatu ayat hukum dan asbab al-wurud dari suatu Hadis hukum merupakan contoh kongkrit bahwa ketetapan hukum dalam Islam merupakan refleksi sosial masyarakat yang mengelilinginya. Dalam perkembangan hukum Islam selanjutnya, para imam mujtahid atau para imam madzhab dalam menetapkan suatu hukum selalu memperhatikan kondisi sosial masyarakat. Perbedaan ketetapan hukum yang dikeluarkan oleh imam Syafi’i yang memunculkan qaul qadim (pada waktu berada di Bagdad, Irak) dan qaul jadid (pada waktu ia berada di Kairo, Mesir) adalah contoh konkret bahwa ketentuan hukum yang dihasilkan melalui ijtihad, faktor kondisi lingkungan masyarakat sangat mempengaruhi terhadap keputusan-keputusan hukum. Berdasarkan fakta perkembangan hukum Islam itu, Ahmad Mustafa al-Maraghi menyatakan bahwa suatu kebijakan hukum dapat saja berubah sesuai dengan kondisi sosial masyarakat. Apabila suatu ketentuan hukum dirasakan sudah tidak maslahat dikarenakan terjadi perubahan kondisi sosial, maka dapat diganti dengan ketetapan baru yang lebih sesuai dengan kemaslahatan dan kondisi sosial yang ada.11
Hal yang sama juga dikatakan oleh Muhammad Rasyid Ridla, bahwa suatu ketetapan hukum dapat berubah-ubah karena perubahan tempat, waktu, kondisi, dan situasi sosial masyarakat. Jika suatu ketentuan hukum itu tidak dibutuhkan lagi, dapat digantikan dengan ketentuan hukum baru yang sesuai dengan waktu dan situasi terakhir.12
Perubahan kondisi sosial adalah suatu perubahan di sekitar institusi kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya. Masyarakat muslim adalah sekelompok masyarakat yang hidup dalam sistem dengan memegang al-Qur’an sebagai sumber ajarannya yang diyakini benar dan kekal. Oleh karena kekekalannya itulah, al-Qur’an justru harus dipahami sesuai perkembangan dan perubahan manusia di berbagai bidang; sosial, budaya, sains, dan teknologi. Dengan berpegang pada prinsip yang demikian, hukum Islam tidak hanya sebagai aturan normatif, tetapi juga operatif sehingga hukum Islam benar-benar dirasakan sebagai rahmat, bukan sebagai ancaman. Dengan demikian, kaidah di atas sangat berperan dalam mewujudkan konsep perubahan sosial yang selalu terkait dengan perubahan hukum.
Perbedaan pendapat tentang wali mujbir di kalangan ulama Hanafiyah dan ulama Syafi’iyah adalah contoh bahwa suatu ketetapan hukum (yang dihasilkan melalui ijtihad) tidak lepas dari kondisi sosial masyarakat. Lingkungan masyarakat Hanafiah wanita-wanitanya sudah terbiasa ikut serta dalam pergaulan kemasyarakatan dalam berbagai bidang sehingga ia dianggap mengetahui terhadap laki-laki yang cocok bagi dirinya. Sebaliknya, lingkungan masyarakat Syafi’iyah kaum wanitanya tidak terbiasa keluar rumah sehingga dalam menentukan calon suami, orangtua (wali) lebih mengetahui laki-laki yang baik dan maslahat bagi anaknya.
- Tempat dan Waktu
Keharusan untuk memperhatikan tempat dan waktu dalam menetapkan hukum karena Islam memberikan prinsip sebagai berikut:
“Suatu ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan berubahnya waktu, tempat, dan siatuasi (kondisi)” 13.
Prinsip ini mengharuskan seseorang mempunyai kemampuan dalam melihat fenomena sosial yang mungkin berubah dan berbeda karena perubahan jaman (waktu) dan perbedaan tempat. Hal ini berarti juga menuntut kemampuan membuat generalisasi atau abstraksi dari ketentuan hukum yang ada menjadi prinsip umum yang berlaku untuk setiap jaman (waktu) dan tempat. Berlakunya suatu prinsip untuk segala jaman (waktu) dan tempat berarti keharusan memberi peluang pada prinsip itu untuk dilaksanakan secara teknis dan konkret menurut tuntutan ruang dan waktu. Oleh karena ruang dan waktu berubah, tentu spesifikasinya pun berubah dan ini membawa pada perubahan hukum.14
Dengan demikian, memperhatikan waktu dan tempat masyarakat yang akan diberi beban hukum sangat penting.
Prinsip yang sama dikemukakan dalam kaidah sebagai berikut:
“Tidak dapat diingkari adanya perubahan karena berubahnya waktu (zaman)” 15.
Dari prinsip ini, seseorang dapat menetapkan hukum atau melakukan perubahan sesuai dengan perubahan waktu (zaman). Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa suatu ketentuan hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja mengalami perubahan karena perubahan waktu, tempat keadaan, dan adat.16
Oleh karena itu, ketentuan hukum sangat mungkin berubah karena pertimbangan lingkungan, yaitu lingkungan tempat (zharf al-makan) dan lingkungan waktu (zahrf al-zaman).
Keleluasaan yang diberikan Islam untuk mengembangkan dan menerapkan berbagai kebijakan hukum dengan segala teknisnya sesuai dengan konteks yang ada juga terdapat dalam prinsip:
“Segala sesuatu (selain ibadah) pada dasarnya adalah boleh, kecuali akan dalil yang melarangnya” 17.
Dari prinsip tersebut dapat dipahami bahwa umat Islam dalam aktivitas kultural (selain masalah ibadah) seperti politik, kenegaraan, perekonomian, diberi kebebasan yang luas untuk melakukan kreativitas dan inovasi untuk mencari yang paling relevan dengan kondisi yang ada.
Berkaitan dengan prinsip ini, patut diperhatikan ungkapan Ahmad Zaki Yamani, “Banyak orang keliru memahami syari’ah, yaitu tidak dapat membedakan antara yang murni agama dan yang merupakan prinsip-prinsip transaksi keduniaan. Meskipun keduanya diambil dari sumber yang sama (al-Qur’an dan al-Sunnah), tetapi prinsip-prinsip yang kedua didasarkan kepada kepentingan dan manfaat umum dan karenanya dapat berubah-ubah (sesuai dengan konteksnya) menuju yang terbaik dan ideal.” 18
Ungkapan di atas memberikan pengertian tentang perlunya dibedakan (tetapi tidak terpisahkan karena berasal dari sumber yang sama) antara yang bersifat agama murni dan yang bersifat keduniaan. Urusan mu’amalah boleh melakukan kreativitas dengan tetap mempertimbangkan kepentingan dan kebaikan umum (maslahah ‘ammah). Sementara itu, dalam urusan ibadah tidak diperbolehkan ada “kreativitas”.
Sistem ibadah dan tata caranya adalah hak mutlak Tuhan dan para Rasul. Sebagaimana melakukan kreativitas terhadap ibadah adalah dilarang maka menghalangi melakukan kreativitas terhadap sesuatu yang dibolehkan (dalam urusan mu’amalah) juga dilarang.
Tiga kaidah di atas dipertegas lagi oleh kaidah sebagai berikut: “Pada dasarnya dalam segala bentuk transaksi dan mu’amalah adalah diperbolehkan (sah) sampai ada dalil yang melarang dan mengharamkan” 19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar